Penulis : Fuadah Hanisah
IslamDaily.id - Pernikahan merupakan ibadah dengan kedudukan yang sangat penting dan sakral dalam Islam. Namun tidak semua pasangan mampu menjaga janji suci dan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan harmonis. Apakah pernikahan hanya sekedar pernyataan di atas kertas hitam putih yang tidak bisa dijaga kelanggengannya? Lantas pernikahan yang bagaimana yang didamba oleh Al-Qur’an ?
Tidak lama ini Indonesia diramaikan oleh kasus KDRT baik dari kalangan masyarakat biasa hingga selebritis. Beranda berita pun dipenuhi oleh judul-judul yang memilukan seperti: “Horor suami di Sumut Mutilasi hingga Masak Daging Istri” (Detik.com selasa, 15 Nov 2022 05:40 WIB), “Direkam anak, Pria Aniaya istri di Tangsel Dipicu Tuduhan Selingkuh” (Detik.com R, 15 rabu, 16 Nov 2022 13:39 WIB). “Pria Aniaya Istri bertubi-tubi di Tangsel, Polisi: Mereka Pasangan Siri” (Detik.com R, 15 rabu, 16 Nov 2022 15:31 WIB), “Viral, Suami Cekik hingga Injak leher Istri di Tangsel, Pelaku Ditangkap” (Detik.com R, 15 rabu, 16 Nov 2022 12:18 WIB) dan berita-berita lainnya yang banyak merugikan perempuan.
Berdasarkan data dari KemenPPPA higga Oktober 2022 terdapat 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia. Sebanyak 79,5% atau 16.745 korbannya adalah perempuan. KDRT dapat menimbulkan dampak ketakutan, penderitaan berat hingga gangguan psikososial pada korban. Selain itu korban bisa menjadi disabilitas, memiliki keinginan bunuh diri karena hilangnya rasa kepercayaan diri. (Metro tvnews: 4 oktober 2022 11:27)
Kekerasan menurut KBBI adalah perihal (keras, paksaan atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain. Atau menyebabkan kerusakan fisik. Sedangkan rumah tangga diartikan sebagai hal-al yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah. Zainatun Subhan menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Kekerasan terhadap Perempuan” bahwa kekerasan terhadap perempuan dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Kekerasan fisik, seperti: pemukulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, penggunaan alat kontrasepsi yang dipaksakan.
Kekerasan non fisik, seperti: terror dan intimidasi, direndahkan posisinya dalam keluarga, dilemahkan kemampuannya, dan isteri yang ditinggal oleh suami tanpa berita dan alasan apapun. (Zaitun Subhan: Kekerasan terhadap Perempuan: 2001)
Terkait hal ini Allah menerangkan dalam Q.S An-Nisa:34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S An-Nisa:34)
Dalam kitab Asbabun Nuzul alWahidi menjelaskan bahwa ayat ini turun terhadap Saad bin Rabi’ dan istrinya Habibah binti Zaid. Istri Saat bin Rabi telah nusyuz kepadanya sehingga Saad menampar istrinya, oleh karena itu istrinya dan ayahnya datang mengadu kepada Rasulullah dan Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakan Qishas terhadap Saad bin Rabi’. Namun Ketika Habibah dan ayahnya berpaling pergi untuk melaksanakan Qishas Rasulullah memanggil mereka Kembali dan membacakan Ayat ini dan bersabda “kita menghendaki sesuatu dan Allah menghendaki sesuatu yang lain, dan apa yang dikehendaki oleh Allah adalah lebih baik. (Alwahidi: Asbabun Nuzul Al-Qur’an: 155)
Hasbi Asshiddiqy dalam tafsirnya Al-Bayan menjelaskan bahwa kaum laki-laki menjadi pengurus terhadap kamu perempuan karena Allah telah melebihkan Sebagian mereka atas Sebagian dan disebabkan kaum laki-laki menafkahkan harta-hartanya untuk nafkah para istri maka perempuan-perempuan yang shalih ialah perempuan yang menaati Allah dalam melayani suami, yang memelihara segala yang wajib atasnya dikala suami tidak ada di rumah, baik dirinya, harta dan rumah tangga, disebabkan Allah telah memelihara. Dan semua yang kamu khawatirkan akan durhaka kepadamu, maka berilah pelajaran kepadanya dan janganlah kamu tidur setempat dengan mereka dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan kecederaan pada tubuh mereka. Jika mereka Kembali menaatimu dengan salah satu jalan ini, maka janganlah kamu berlaku curang terhadap mereka. Janganlah kamu melampaui batas-batas yang sudah ditetapkansesungguhnya Allah maha tinggi dan maha besar. (Hasbi Ashiddiqy : Tafsir Al-Bayan: 84)
Quraish Shihab juga mejelaskan dalam tafsirnya Al-Misbah bahwa suami memiliki hak memelihara, melindungi dan menangani urusan istri, karena sifat-sifat pemberian Allah yang memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang ia lakukan itu, dan kerja keras yang ia lakukan untuk membiayai keluarga. Oleh karena itu, yang disebut sebagai istri yang sholehah adalah istri yang taat kepada Allah dan suami, dan menjaga segala sesuatu yang tidak diketahui langsung oleh suami. Karena, memang, Allah telah memerintahkan dan menunjukkan istri untuk melakukan hal itu. Kepada istri yang menampakkan tanda-tanda ketidakpatuhan berilah nasihat dengan perkataan yang menyentuh, jauhi ia ditempat tidur, kemudian beri hukuman berupa pukulan ringan yang tidak melukai, Ketika ia tidak menampakkan perbaikan. Jika dengan salah satu cara ia sadar dan Kembali memenuhi suami, maka suami tidak boleh menempuh cara lain yang lebih kejam dengan maksud menyakiti dan menganiaya istri. Allah sungguh lebih mampu untuk melakukkan itu dan membalas suami, jika suami terus menyakiti dan menganiaya istri. (Quraish Shihab: Tafsir Al-Misbah: 517)
Dalam ayat tersebut sebagian golongan memaknai وَاضْرِبُوهُنَّ sebagai dalil bahwa boleh seorang suami memukul istri. Kata wadhribuhunna yang diterjemahkan dengan “pukulah mereka” terambil dari kata dharaba sesungguhnya memiliki banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami menyakiti atau melakukan suatu Tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kaki atau musafir dinamai oleh Bahasa dan oleh al-Qu’an yadhribunna fi al aradh yang secara harfiah berarti memukul di bumi karena itu, perintah di atas dipahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasul SAW bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: 519).
Menurut Ibnu Abbas dan sahabat yang lain pukulan yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak membekas, pukulan yang tidak mematahkan tulan dan tidak dilakukan di satu tempat secara berulang-ulang, Obyek pukulan juga tidak boleh ditempat yang membahayakan dan tidak boleh di wajah, jumlah pukulan juga tidak boleh lebih dari 10 kali pukulan.
Kata wadhribu merupakan kalimat amra atau kalimat perintah. Namun apakah perintah dalam ayat ini wajib atau sebaliknya? Perintah memukul istri yang nusyuz tidak dihukumi wajib namun diartikan sebagai perintah yang mengandung makna ibahah atau kebolehan. Meski demikian pukulan yang dibolehkan bersyarat yakni tidak menyakitkan dan membekas. Perlu dicatat bahwa hal ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangganya. Kata memukul tidak dipahami dengan menyakiti, tidak juga diartikan dengan sesuatu yang terpuji. Rasul pun telah mengingatkan agar jangan memukul “wajah dan jangan pula menyakiti”. Hadis lainnya beliau bersabda “Tidakkah kalian malu memukul istri kalian seperti kalian memukul keledai” malu bukan saja memukul, tetapi juga malu karena mendidik dengan nasehat dan cara lain.
0 Comments
Posting Komentar