Hari Raya Idul Fitri adalah lebarannya orang Islam yang diperingati setiap tanggal 1 Syawal merupakan hari penting dalam agama Islam yang tentunya memiliki makna dan arti bagi tiap-tiap umat Muslim sehingga meskipun hari besar tersebut terus diulang-ulang setiap tahunnya namun umat Muslim masih merayakannya dengan semangat dan suka cita yang sama. Mayoritas umat Islam memaknai hari raya Idul Fitri dengan kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci seperti layaknya terlahir kembali karena setelah menjalani proses berpuasa selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan yang dikenal dengan bulan pengampunan. Namun meskipun pemaknaan Idul Fitri dengan “kembali suci” masih menjadi perdebatan namun pada kenyataannya begitulah masyarakat memaknai hari besar tersebut.

Pemberian nama id (hari raya) dikarenakan Allah pada hari tersebut Allah memberikan ihsan kepada hamba-hamba-Nya di setiap tahun, di antaranya diperbolehkan makan di siang hari setalah dilarang utuk makan di siang hari selama bulan Ramadhan, serta diperintahkan untuk menunaikan zakat fitrah karena biasanya hari raya itu penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan sementara kedua hal tersebut datangnya dari itu. Maka sesuai adanya dengan makna id sendiri secara bahasa yang berarti kembali, yaitu kembali dan berulangnya kebahagiaan setiap tahun. Menurut Hasbi Ash Shiddiqy id dalam pengertian bahasa sama dengan musim. Yaitu musim manusia beramai-ramai berkumpul untuk merayakan sesuatu atau melaksanakan sesuatu. Kata ‘id bermakna a’aid (yang kembali lagi) diambil dari kata ‘aud yang bermakna kembali kepada kesenangan, kegembiraan, memakai pakaian yang indah-indah, menikmati makanan-makanan yang lezat, seperti yang dilakukan pada hari itu dan kembali membersihkan hati dari dendam dari sifat-sifat yang keji, serta menghiaskan jiwa dengan kemesraan dan kasih sayang. Dinamaknnya ‘id karena dia selalu kembali pada saatnya serta pada hari itu banyak sekali anugerah Allah yang dicurahkan kepada hamba-hamba-Nya.

Perayaan hari raya Idul Fitri pertama sekali dilakukan pada 624 Masehi atau tahun kedua hijriyah. Perayaan tersebut bertepatan dengan Perang Badar yang pada saat itu dimenangkan oleh umat Muslim. Jika dirunut kembali ke bawah untuk mengetahui rekam jejak sejarah Idul Fitri, jauh sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliyah telah memiliki dua hari raya yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan. Kedua hari raya tersebut dirayakan dengan pesta pora dan kegiatan yang jauh dari manfaat seperti bermabuk-mabukan, menari, dan adu ketangkasan,[1] yang semuanya merupakan ritual wajib dalam perayaan kedua hari raya tersebut. Sehingga Rasulullah di kemudian hari mengganti kedua hari raya tersebut dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang jauh lebih baik. Pergantian tersebut terdapat dapat dalam hadis Nabi yang terdapat dalam kitab Fiqh Madzahib al-Arba’ah yang artinya berikut ini:“Ketika Nabi Shallahhahu ‘alaihi wa sallam  datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata: “Aku datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya di masa jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. (HR. An Nasai No. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib al-Arnauth.

Kesungguhan umat Muslim dalam suka citanya menyambut lebaran terlihat dari bagaimana mengekspresikan penyambutan lebaran tersebut. Dari dulu ketika masa-masa awal Islam perayaan menyambut lebaran juga sudah mulai dilakukan namun seiring berkembangnya masa tentu akan mengalami perubahan, dibarengi dengan tingkah laku manusia justru berbeda-beda dari masa ke masa bahkan dari suatu tempat dan daerah dengan tempat dan daerah lain.

Mengenai tradisi berlebaran di masa Nabi maupun sahabat tidak banyak literature yang didapatkan mengenai pembahasan ini, namun ada beberapa cacatan yang didapatkan, Rahla Khan misalnya dalam “How Did the Prophet and His Companions Celebrate Eid?” mengatakan bahwa pada masa Rasulullah dan juga generasi sahabat malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan takbiran hingga pagi hari 1 Syawal, dan pada hari tersebut Rasulullah menggunakan pakaian terbaik yang Ia miliki. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa perayaan Idul Fitri ini sebetulnya memiliki akar sejarah yang kuat dalam peradaban Islam, sehingga tradisi-tradisi penyambutan dan perayaan hari tersebut yang dikemudian hari hadir secara langsung maupun tidak langsung berkolerasi dengan sunnah yang pernah digariskan oleh Rasulullah.