Indonesia
terkenal dengan konsep “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti “walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Konsep ini mendeskripsikan bahwa Indonesia
sudah terbiasa dengan keberagaman yang dimilikinya. Keberagaman ini tidak hanya
mewakili budaya, ras atau
suku, tetapi juga mewakili ragam jenis agama yang diyakini oleh penduduknya.
Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa keberagaman menjadi warna yang saling
berdampingan seperti pelangi,
semakin ragam jenis warnanya
maka akan terlihat semakin indah. Istilah menjadi kunci bahwa apapun latar
belakang kehidupan seseorang akan terlihat indah jika saling berdampingan.
Memang, budaya,
ras dan suku menjadi perhatian yang sangat ‘mencolok’ di Indonesia. Perbedaan
ini terlihat indah ketika
disuguhkan dalam bentuk tradisi, tarian, ragam rasa masakan dan lainnya.
Wujudnya terlihat dan dapat diikuti serta dirasakan oleh setiap penduduknya.
Bahkan, tradisi budaya ini tidak hanya dirasakan bahagia oleh penduduk
Indonesia, tetapi juga terkenal di kancah internasional. Oleh karena itu, tidak
heran jika banyak turis luar negeri berbondong-bondong ke Indonesia untuk
menikmati alamnya,
budayanya serta tradisi yang secara turun temurun ada di Indonesia.
Ternyata,
kentalnya budaya dan tradisi di Indonesia tidak hanya menjadikan warna di
Indonesia terlihat indah, tetapi juga perbedaan keyakinan yang dianut oleh
setiap penduduk Indonesia. Mayoritas penduduk di Indonesia menganut keyakinan agama
Islam. Setiap muslim diperintahkan untuk taat dan patuh pada aturan syariat Islam.
Meskipun aturan yang berlaku di Indonesia berlandaskan pada Undang-Undang Dasar
1945, hal ini tidak menjadi persoalan bagi umat Islam. Bahkan, dalam aturan
Islam memerintahkan setiap muslim untuk taat dan patuh pada setiap aturan yang
diatur oleh pemimpin negara.
Melihat
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tidak menutup kemungkinan adanya
warga negara Indonesia yang juga memeluk keyakinan yang lain. Di Indonesia
terdapat 6 agama yang telah disepakati bersama, yaitu agama Islam. Katolik,
Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu. Ke enam agama ini diakui secara sah
oleh negara dan diperbolehkan untuk memperlihatkan
simbol-simbol nya
serta atribut keagamaan di ruang publik. Diterimanya ke enam agama ini secara
sah tertulis dalam Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama bahwa “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di
Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha dan KhongHuCu (Konfusius)”. Ke enam agama ini secara sah diberikan kebebasan dan wewenang
penuh untuk hadir di publik
Indonesia dan setiap warga negara akan direkam secara digital seperti yang
tertera pada E-KTP.
Uniknya, di luar
ke enam agama tersebut, Indonesia juga memberikan perlindungan kepada
keyakinan lain. Hal ini tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini menjadi acuan dasar
bahwa Indonesia adalah tempat di mana setiap warganya diberikan kebebasan dan
wewenang penuh untuk memilih menganut suatu keyakinan. Kebebasan ini diberikan
perlindungan yang sangat baik oleh pemerintah Indonesia dalam aturan
Undang-undang. Sehingga, kebebasan yang ada diatur dengan bijak agar
terciptanya tenggang rasa, toleransi dan bersatu dalam harmoni.
Beragam nya
keyakinan agama yang dianut, seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negeri
percontohan bagi negara-negara yang lain. Di Indonesia, warganya terbiasa hidup
berdampingan dan juga terbiasa hidup dalam ragam perayaan hari besar agama.
Misalnya, setiap bulan Ramadhan, warga Indonesia biasa disibukkan dengan aktivitas shalat tarawih berjamaah,
berpuasa satu bulan penuh dan disambut dengan ngabuburit di sore hari
untuk bekal berbuka puasa. Aktivitas ini berjalan dengan sangat indah, setiap
warga yang beragama non-muslim diberikan kesempatan untuk ikut
menikmati hidangan berbuka puasa. Pun demikian, hari besar agama lainnya juga
berjalan aman di Indonesia.
Sumber: katadata.co.id
Merujuk
pada gambar di atas, dapat
diketahui bahwa praktik toleransi di Indonesia masih perlu untuk mendapatkan
perhatian dan pembinaan lebih mendalam. Data menunjukkan bahwa Tanjung Balai,
Sumatera Utara merupakan kota dengan predikat toleransi terendah yaitu 2,81%
pada tahun 2018. Kemudian disusul dengan kota Banda Aceh yang dinilai masuk
dalam kategori kota toleransi terendah. Hal yang mengejutkan adalah Jakarta
sebagi ibukota negara Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kategori
toleransi terendah. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan kota Banda Aceh,
Sabang justru menempati posisi sebagai kota paling toleransi pada tahun 2018.
Melihat konstruksi intoleransi di berbagai wilayah, sejauh ini, praktik toleransi juga
semakin digencarkan dan mendapatkan perhatian khusus dari berbagai bidang.
Salah satunya, Kementerian Agama mencoba merumuskan berbagai program-program
kreatif untuk mewujudkan praktik toleransi di Indonesia. Nyatanya, masyarakat
di luar negara Indonesia, seperti Australia dan Jerman sangat tertarik untuk
mempelajari toleransi beragama di Indonesia, meskipun banyak kasus intoleransi
yang tengah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. dilansir melalui
laman www.voaindonesia.com dijelaskan bahwa pemerintah Australia ingin mempelajari keberagaman
dan toleransi yang dilakukan di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai penduduk Indonesia yang dipandang telah terbiasa mempraktikkan toleransi dalam keberagaman, sudah seharusnya kita sebagai generasi muda bangsa dapat mengajak masyarakat sedari dini untuk menjaga keutuhan toleransi dan berupaya sekuat mungkin untuk menghilangkan praktik intoleransi.
Penulis : Fathayatul Husna, S,Ikom., M.A
0 Comments
Posting Komentar