Penulis : Muhammad Sirojul Munir
IslamDaily.Id - Mungkin sempat terlintas dalam benak kita, mengapa banyak sekali perbedaan pendapat yang diutarakan ulama mengenai penetapan hukum? Bukankah semua tentang agama akan bermuara dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utamanya. Namun, mengapa hasil ijtihad ulama seringkali berbeda satu sama lain, apakah ada yang menjadi alasan tersembunyi dalam hasil pemikiran seorang ulama.
Dugaan demi dugaan mulai muncul menggumpal menjadi sebuah cocoklogi, dengan dorongan penasaran juga sokongan curiga melebur dalam pemikiran tentang semakin banyak pendapat ulama yang kian beragam. Sikap overthinking seperti itu menurut saya wajar, terlebih lagi pada zaman yang deras akan aliran informasi saat ini. Kabar tanpa ada keterangan penulis yang jelas, informasi tidak utuh dengan dibalut visualisasi yang berhasil merefleksikan kebenaran informasinya, turut memperkeruh keadaan.
Namun alangkah lebih baik, kita mempelajari lebih dalam lagi tentang alasan ulama yang sering berselisih dalam menentukan hukum dengan perbedaan hasil ijtihad mereka; antara Imam Syafi’i dan Imam Maliki dalam hukum pelaksaan thawaf ketika haji, Imam Syafi’i mengutarakan hukum bersentuhan lelaki dan perempuan yang muhrim ketika thawaf dapat membatalkan wudhu yang menjadi keabsahan thawaf. Sementara, Imam Maliki memilih berpendapat bersentuhan kulit yang dimaksudkan Imam Syafi’i tidak membatalkan wudhu yang menghapus keabsahan thawaf, sampai seorang tersebut melakukan jima’. Tentu hal ini sedikit aneh bukan, apabila mengingat sumber hukum keduanya sama.
Untuk menanggapi perselisihan pendapat demikian, saya akan berbagi rahasia di balik banyaknya perbedaan hukum hasil ijtihad ulama. Akan terkejutnya nanti, bahwa ternyata mayoritas perbedaan hukum ulama’ itu justru ditengarai oleh sumber utama hukum umat Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an serta hadis. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? saya akan merangkumnya dalam tiga bagian:
Perbedaan dalam memahami Al- Qur’an
Al-Qur’an dalam pandangan indrawi mungkin hanya dapat dilihat tidak lebih dari kitab yang berisikan lafadh arab sebagai wahyu Allah kepada nabi Muhammad, namun jika pandangan tersebut berisi pengetahuan I’jaz Al-Qur’an(kemuzjitan Al-Qur’an) yang menerangkan keperkasaan Al-Qur’an mulai dari gaya Bahasa, susunan kalimat hingga isi kandungan yang syarat akan makna luas dari ringkas dan indah setiap ayat-Nya. Pandangan tersebut berasal dari Syekh Manna Al-Qatthan (1973) dalam kitab Ulumul Qur’an miliknya yang menerangkan bahwa, kemukjizatan Al-Qur’an menunjukkan keperkasaan Allah melalui kalam-Nya, dengan gaya Bahasa, model penyusunan kalimat, ilmu pengetahuan yang terkandung, kesesuaian makna dengan kehidupan manusian, yang tiada satu pun manusia dapat menandinginya.
Alasan demikian yang menjadi landasan perbedaan tercetus oleh ulama’ dalam hasil hukum mereka, Bahasa yang terkandung dalam Al-Qur’an memiliki kekuatan distingtif, sehingga lahir ambiguitas saat ulama’ memberikan pemaknaan pada Al-Qur’an. Misal satu lafadh memiliki dua makna yang sama sama kuat. Ambil saja lafadh quru’ (bermakna suci atau haidh) dalam pendapat imam syafi’i makna lafadh tersebut ialah suci, sehingga makna ayat utuhnya adalah “masa iddah dihitung masa suci dan berakhir pada masa suci ketiga”. berbeda dengan itu, Abu Hanifah memaknai quru’ dengan haid (W.Khallaf :1996)
Sekalipun perbedaan yang ditampilkan kedua ulama diatas begitu jauh, namun esensi dari rentangan waktu tunggu wanita setelah iddah untuk menikah kembali. Dengan lafadh Al-Quran yang dibaca sama sangat mungkin memunculkan perbedaan makna pada setiap pengkajinya, ini baru satu lafad dari Al-Qur’an, tentu masih banyak contoh lain.
Perbedaan dalam Memahami Hadist Nabi
Setelah Al-Qur’an, sumber hukum Islam kedua adalah hadist nabi Muhammad SAW. Tidak jauh berbeda dengan sumber pertama, hadist juga banyak menuai perbedaan makna dari para ulama’ terkait kualitas dan kuantitas hadist. Merujuk pada Ibnu Hajar Asyqolani (15 M), klasifikasi hadis menurut kualitas hadis; hadis shahih dan hasan jika kuantitas hadis; hadis mutawatir dan ahad.
Hadist dalam klasifikasi kuantitas ialah penggolongan hadist sesuai kesempurnaan riwayat, dalam klasifakasi ini hadist mutawatir dan ahad sebagai istilah penyebutan untuk hadis diterima karena periwayatan yang sah. Periwayat dari hadist tersebut merupakan periwayat hadist yang kredibel dan jauh dari kemungkinan berbohong karena banyaknya jumlah periwayat hadistnya. Namun, karena setiap ulama’ memiliki pendapat yang berbeda ketika menilai seorang perawi, memunculkan versi yang berbeda-beda dalam jastifikasi hadist yang diriwayatkan.
Tidak jauh dari klasifikasi kuantitas hadist, hadist shahih dan hasan juga menemui perbedaan pendapat disetiap matan yang menjadi tolak ukur kualitas hadist. Namun, kualitas hadist lebih mudah kita pertimbangkan sendiri dengan mempergunakan kegemaran membaca kitab hadist autentik seperti kutubut tis’ah yang sudah diakui kebenaran hadist didalamnya.
Perbedaan Metode, Relevansi Waktu juga Tempat
Jauh dari masa shahabat umat islam telah memiliki dua akademi hukum yang nantinya memunculkan manhaj atau metode ijtihad berbeda pada generasi sebelumnya, dua akademi tersebut adalah akademi hadist di Madinah oleh Abdullah bin Umar dan akademi ro’yi (nalar) di kuffah yang dipimpin oleh Abdullah bin mas’ud, dari dua akademi inilah nantinya para mujtahid muthlaq lahir dari abad periode ke satu dan dua hijriyah.
Sumber dalilnya pun terbagi menjadi dua, ada yang bersifat muttafaq alaih dan mukhtalaf fih. Dalil muttafaq adalah Al-Qur’an hadist ijma’ sedangkan yang mukhtalaf ialah qiyas, istihsan maslahah mursalah dan lain sebagiannya yang disetiap waktu dan tempat terus dikaji dan berkembang. Sebagaimana kita tahu, permasalahan yang menimpa manusia sangatlah beragam tergantung pada masa pula tempatnya. Itulah yang mendasari ulama’ dalam memutuskan hukum akan menyesuaikan terhadap tempat ia lahir dan zaman masa hidupnya.
Setelah kita mengetahui alasan ulama’ saling berselisih dalam menentukan hukum, bagaimana sikap kita tentang hal tersebut? Imam Malik pernah berkata, “aku hanyalah seorang manusia yang bisa benar juga bisa salah. Jikalau kalian mendapati pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.” Ungkapan yang bijak dan patut kita contoh, dengan kerendahan hati Imam Malik masih mementingkan kebenaran dari Al-Qur’an dan Hadist alih-alih mengunggulkan pendapatnya sendiri.
Selain Imam Malik, sikap bijak ketika berselisih paham juga diterapkan oleh ulama’ Indonesia sendiri, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang saat berselisih mengenai hukum memakai kentongan salah satunya, KH. Hasyim berpendapat tidak memperboleh memakai kentongan sebagai pewarta sholat. Sebaliknya, KH. Faqih Maskumambang malah memakainya sebagai pewarta sholat maktubah di masjid pondok pesantrennya. Namun, ketika KH. Hasyim Asy’ari silaturahmi ke rumahnya, beliau menyuruh santri untuk tidak membunyikan kentongan saat KH. Hasyim masih berada di rumahnya. Itulah teladan yang diberikan untuk saling menghormati pendapat yang berbeda, tanpa berpikir menang dan kalah, seraya menegaskan saling menghormati adalah kearifan budaya yang harus terus kita lestarikan.
0 Comments
Posting Komentar