IslamDaily.Id -
Indonesia dikenal sebagai multikultural karena
latarbelakang penduduknya berasal dari ragam suku, budaya dan agama. Indonesia
menampung kurang lebih sekitar 1.300 suku dari 300 kelompok etnis yang berbeda
dan terdapat 726 ragam bahasa daerah. Tidak hanya itu Indonesia juga menampung
6 agama besar, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu,
serta terdapat kurang lebih sekitar 50 kepercayaan lokal. Kemajemukan penduduk
di Indonesia merupakan kekayaan yang patut diberikan apresiasi. Ternyata,
Indonesia tidak hanya kaya akan hasil alamnya dan hasil perairannya, Indonesia
juga kaya akan budaya dan agama. Kemajemukan ini menjadi perhatian bagi
negara-negara lainnya. Tidak sedikit dari negara lain yang datang ke Indonesia
untuk menikmati alam serta budayanya. Di samping itu, Indonesia juga banyak
mendapatkan paten dari kancah internasional, seperti tari Saman telah
ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak berbenda. Tidak hanya itu,
batik juga diklaim sebagai warisan budaya Indonesia. Hal seperti ini menjadi
sebuah kebanggaan tersendiri bagi setiap penduduk di Indonesia.
Berbicara
tentang keberagamaan dan banyak suku, budaya serta agama di Indonesia, sudah semestinya
tidak terlepas dari persoalan sosial. Di satu sisi, keberagamaan ini akan
mendorong pada dampak positif, seperti modal pengunaan bangsa, kehidupan yang
rukun dan damai. Di sisi lain, keberagamaan ini juga digunakan sebagai objek
konflik dan perpecahan kemanusiaan. Konflik dan perpecahan ini akan berdampak
pada lunturnya harmonisasi antar penduduk di Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia sangat menerapkan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meskipun
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Mengenai
konflik, tidak ada satu individu pun yang menginginkan hal ini terjadi. Namun,
terkadang konflik terjadi karena adanya ketegangan antar sesama subjek. Terjadi
konflik yang mengatasnamakan sosial, seperti suku, budaya dan agama. Konflik
sosial ini sangat sensitif dan belakangan sering terdengar di berbagai media
massa dan media sosial. Salah satu contoh konflik yang sering terjadi adalah
konflik agama. Ketegangan yang terjadi antar pemeluk agama, bahkan tidak
menutup kemungkinan antar sesama keyakinan juga dapat menimbulkan konflik.
Konflik antar agama yang pernah terjadi di Indonesia seperti konflik Poso,
konflik Ambon, konflik Tolikara dan konflik Aceh. Beberapa tragedi ini tidak
hanya menciptakan kerusuhan berskala besar, tetapi juga memakan banyak korban
dan berujung pada perpecahan antar umat beragama. Namun, konflik-konflik dapat
teratasi dan diselesaikan dengan cara yang baik.
Belajar dari
pengalaman sebelumnya, konflik antar umat beragama terjadi karena adanya sikap
in-toleransi dengan pihak pemeluk agama lain. Satu pihak merasa dirinya lebih
baik dan lebih tinggi derajatnya daripada pemeluk agama yang lain.
Anggapan-anggapan seperti menjadi faktor terjadinya konflik antar umat beragama.
Sehingga, konflik terjadi di berbagai daerah dan saling mencela antar agama yang
mereka yakini. Oleh karena itu, praktik-praktik ini harus segera diatasi dengan
edukasi toleransi. Edukasi toleransi ini mengajak setiap umat beragama untuk
saling menghargai setiap agama yang dianut oleh orang lain tanpa adanya celah
untuk mencela.
Upaya
menyatukan antar umat beragama disebut dengan istilah toleransi. Toleransi
mengajarkan perdamaian dan mengajak pada persatuan. Di samping itu, toleransi
dipandang sebagai sebuah tanggung jawab dan sikap yang sangat menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan pluralisme. Toleransi juga tidak hanya menempatkan tentang
sebuah nilai kebenaran mutlak, tetapi lebih mengedepankan nilai kebenaran dalam realitas sosial. Oleh karena itu, toleransi memberikan ruang kepada
setiap manusia untuk mengekspresikan kebenaran menurut versi nya. Dengan
demikian, perlu adanya sebuah pembelajaran khusus bagi setiap masyarakat,
khususnya di Indonesia untuk mengetahui lebih mendalam terkait praktik
toleransi.
Pembelajaran
tentang toleransi dirasa perlu untuk segera diberikan kepada masyarakat,
terutama dengan pendekatan keluarga. Setiap anggota berkewajiban untuk
memberikan informasi yang tepat. Beberapa contoh pengajaran praktik toleransi
pada anggota keluarga sebagai berikut: berikan penghormatan atas hak dan
kewajiban setiap anggota keluarga, mengajak anggota keluarga menghormati setiap
keputusan dan keyakinan yang dimiliki orang lain, menghargai hari besar agama
orang lain, tidak mengolok-olok agama lain, membantu sesama tanpa melihat latar
belakang sosial yang berbeda dan sebagainya. Contoh-contoh kecil tersebut akan
berdampak besar dan berujung pada harmonisasi antar umat beragama.
Salah satu kisah
dari keluarga Muslim di Desa Suro Bali, Kepahiang, Bengkulu yang diceritakan
dalam sebuah penelitian jurnal berjudul “Pendidikan Keluarga Muslim di
Tengah Masyarakat Multi-Agama: Antara Sikap Keagamaan Toleransi”. Mayoritas penduduk di desa tersebut memeluk agama
Hindu, yaitu sebanyak 54 KK (Kepala Keluarga, sedangkan Muslim berjumlah 52 KK.
Di sisi lain, pemeluk agama Budha sekitar 11 KK dan pemeluk Katolik sebanyak 1
KK. Warga di desa ini sudah terbiasa hidup saling berdampingan antara satu agam
dengan agama yang lainnya. Namun, penulis fokus pada sikap dari keluarga
Muslim. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan bahwa Muslim di desa ini
mulai menerapkan praktik toleransi sejak usia dini oleh keluarga. Tidak hanya
keluarga, rasa toleransi ini semakin tertanam dari hasil interaksi sosial.
Anak-anak dibiarkan dan diberikan kebebasan untuk bermain dengan beragam latar
belakang sosial. Namun, kebebasan ini disertai dengan pengawasan dari kedua
orang tua dan anggota keluarga.
Tidak hanya itu,
dalam sebuah penelitian dalam jurnal “Pengaruh Nilai Toleransi Keluarga
dan Tingkat Pendidikan Ibu Terhadap Karakter Toleransi Anak” terdapat contoh lain terkait pentingnya peran
keluarga dalam mengajarkan sikap toleransi pada anak. Penelitian ini dilakukan
di Desa Bejijong, Trowulang, Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa pembentukan karakter toleransi pada anak sangat erat kaitannya
dengan pengajaran dari keluarga, terutama seorang ibu. Ibu memiliki pengaruh
besar dalam menanamkan nilai-nilai serta karakter toleransi pada anak. Seorang
anak akan diajarkan untuk terbiasa melihat perbedaan sosial di sekelilingnya
dan turut diajarkan cara menghargai keberagamaan tersebut. Kemudian, anak juga
dibiasakan untuk bermain dengan teman-temannya yang berbeda agama. Mereka juga
dibiasakan untuk melihat dan memberikan kesempatan kepada temannya yang lain
untuk beribadah. Hal sederhana ini diperkenalkan sejak dini dan turut dilakukan
secara konsisten agar anak semakin mengingat dan terbiasa dengan pengajaran
yang diberikan dari keluarganya.
Keluarga
menjadi tempat pertama terbentuk karakter seseorang. Pembentukan ini dilakukan
secara sadar maupun tidak. Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting
dalam mendukung tumbuh kembang anggota keluarganya. Tidak hanya secara fisik,
tetapi juga secara psikis, pola pikir, perasaan dan karakter anggota
keluarganya, biasanya, anak sebagai anggota keluarga terkecil akan melihat,
menyerap dan meniru setiap tindakan orang tua. Tidak hanya tindakan, anak juga
akan mencerna setiap perkataan yang selaras dengan perbuatan kedua orang tua.
Sehingga, dengan mudah anak mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan kedua orangtuanya. Ketika ia berada di dalam rumah, ia akan dengan sudah merekam setiap
kegiatan kedua orang tua. Saat di luar rumah, mereka akan dengan mudah
mengekspresikan rekaman yang telah tertanam dalam benaknya. Oleh karena itu,
salah satu nilai penting yang perlu diajarkan kepada anggota keluarga adalah
nilai toleransi. Setiap anggota keluarga akan mudah untuk beradaptasi dengan
orang lain, meskipun mereka bertemu dengan karakter orang yang berbeda-beda.
Penulis : Fathayatul Husna, S,Ikom., M.A
0 Comments
Posting Komentar