IslamDaily.Id - Baru-baru ini, Indonesia digemparkan dengan sebuah berita terkait pengeras suara azan atau disebut dengan istilah toa masjid. Pernyataan dari salah satu Menteri di Indonesia menjadi viral lantaran ungkapannnya yang dianggap terlalu berlebihan saat menyampaikan argumen terkait pengeras suara azan. Dalam kasus ini, sosok yang terlibat langsung adalah Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Dalam sebuah unggahan video ia menjelaskan bahwa perlu adanya perhatian khusus pada pengaturan pengeras suara azan. Menurutnya, aturan ini perlu diperhatikan agar tidak mengganggu kenyamanan warga. Namun, di sisi lain, beliau juga memberikan pengibaratan “gonggongan anjing”. Istilah ini disampaikan untuk mengilustrasikan bahwa “gonggongan” anjing akan mengganggu warga dan menciptakan kebisingan. Dari penjelasan Menag Yaqut ini menuai kontroversi di tengah masyarakat, khususnya bagi kalangan pemeluk agama Islam. Berita ini menjadi konsumsi khalayak ramai, baik secara offline dan online.
Berdasarkan asumsi dan buah pikir Menag Yaqut tentu menuai banyak sekali pendapat dari kalangan ahli. Misalnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag, Thobib Al-Asyhar, menjelaskan bahwa maksud Menag berfokus pada pentingnya untuk menjaga pengaturan pengeras suara azan dengan volume tertentu agar tidak menjadi kebisingan dan tidak adanya unsur untuk menyamakan suara azan dengan “gonggongan” anjing. Selain itu. Menag juga berfokus pada pentingnya menerapkan konsep toleransi secara bijak, sehingga kehidupan akan terawat dalam harmoni dan penuh damai.
Tidak hanya Thobib, ujaran Menag Yaqut juga menuai pendapat dari tokoh lainnya seperti Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy. Beliau menjelaskan bahwa maksud dari Menag Yaqut sangat baik. Muhadjir juga menjelaskan bahwa surat edaran yang dikeluarkan Menag harus dibaca dan dipahami dengan baik agar mengerti tujuan yang disampaikan. Menurutnya, dengan adanya SE Menteri Agama Nomor 5/2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola jika diterapkan dan diindahkan dengan bijak akan berpengaruh pada terciptanya kenyamanan lingkungan. Suara yang dikeluarkan tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih. Sehingga, perlu adanya keterampilan dalam mengatur volume suara saat azan dikumandangkan.
Terkait dengan adanya pengaturan suara toa masjid penulis ingin menyampaikan sedikit penjelasan terkait aturan yang berlaku. Aturan pengeras suara/toa masjid ternyata telah berlangsung sejak tahun 1978. Hal ini tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. KEP/ D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola. Dalam aturan tersebut dijelaskan terkait keuntungan dan kerugian menggunakan pengeras suara. Keuntungannya adalah menjadi syi’ar dakwah dan penyampaian nilai-nilai keislaman seara meluas kepada masyarakat Muslim di Indonesia, baik yang berada di dalam masjid atau di luar masjid. Di samping itu, keuntungnya adalah dapat menjangkau masyarakat Muslim yang berada jauh dari masjid untuk ingat dan segera menunaikan ibadah shalat lima waktu. Selain itu juga sebagai media untuk menyampaikan kajian keilmuan agaa dalam sebuah tabligh atau dakwah keislaman.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. KEP/ D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola juga menjelaskan beberapa kerugian dalam tanda kutip jika kegunaan pengeras suara tersebut tidak digunakan dengan bijak. Kerugian yang ditimbulkan adalah dapat mengganggu orang yang sedang beristirahat atau sedang beribadah di rumah masing-masing. Hal ini juga mengangkat konsep menghormati jiran/tetangga apabila suara yang dikeluarkan sangat kencang. Oleh karena itu, umat Islam dihimbau untuk memperhatikan tata cara penggunaan pengeras suara atau toa masjid dengan sangat bijaksana. Himbauan ini disampaikan agar terciptanya keharmonisan dan saling menghormati antar warga. Dalam aturan tersebut juga disampaikan dengan rinci terkait syarat-syarat dalam penggunaan pengeras suara, di antaranya adalah pengeras suara harus dikelola oleh seseorang yang terampil, sehingga ia mampu menakar kadar suara yang keluar dari pengeras suara. Kemudian, seorang Mu’adzin, pembaca Al-Quran, imam shalat dan lainnya diutamakan memiliki suara yang fasih dan merdu serta tidak meninggikan suara secara berlebihan, sehingga lantunannya dapat menimbulkan rasa simpati dari orang lain. Selanjutnya, pengeras suara lazim digunakan pada saat menjelang shalat fardhu, seperti pembacaan Al-Quran dan azan serta saat kajian keislaman dilaksanakan.
Melihat beberapa keuntungan serta kerugian yang tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. KEP/ D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola penulis melihat bahwa aturan pengeras suara azan perlu untuk diindahkan dengan cara mematuhi setiap poin-poin yang tertuang di dalamnya. Hal ini perlu dilakukan lantaran adanya perhatian khusus dalam menjaga ketertiban antar warga dan antar umat beragama. Kapasitas suara yang dihasilkan dari pengeras suara tidak berlebihan dan tidak lirih. Suara yang dihasilkan harus dalam kadar yang seimbang dan dilakukan oleh orang yang terampil serta berpengalaman. Dengan demikian, pengeras suara atau toa masjid akan mendapat perhatian serta simpati dari setiap warga, baik dari kalangan umat beragama maupun antar umat beragama.
Bacajuga KISAH ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD: SEJARAH, PERISTIWA, DAN HIKMAH
Persoalan terkait pengeras suara di rumah ibadah sebetulnya telah lama menjadi sorotan, namun yang menjadi sorotan kali ini adalah pengibaratan yang disampaikan oleh Menag Yaqut dengan pemilihan narasi yang sangat tidak tepat. Istilah “gonggongan”anjing sangat mengudang keresahan warga, khususnya umat Islam di Indonesia. Pemilihan kata dalam menarasikan dan mendeskripsikan suatu akibat perlu diperhatikan dengan baik. Misalnya, pengibaratan lain bisa saja menjelaskan tentang pentingnya menjaga harmonisasi antar umat beragama atau bisa juga perangkulan kata untuk mejaga ketertiban warga dengan nada serta volume pengeras suara tertentu. Hal demikan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, khusnya umat beragama Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, istilah-istilah dan pemilihan kata dalam menyampaikan argumen perlu diperhatikan dengan seksama agar warga dapat menerimanya dengan rasa simpati dan saling terbuka.
Penulis : Fathayatul Husna, S.Ikom., M.A
0 Comments
Posting Komentar