Kembali
jagat dunia maya digemparkan dengan pernikahan beda agama yang diajukan
Pengadilan Negeri Surabaya dan telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa
waktu lalu, menikah beda masih menjadi suatu perdebatan dan hal yang dianggap
kontroversial oleh masyarakat terutama di Indonesia.
Polemik ini tidak hanya menjadi
bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan
perundang-undangan negara. Seiring dengan perkembangan zaman, penyimpangan
terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu
penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah
pernikahan, dimana dalam hal ini persoalan agama/iman seringkali diremehkan
dalam suatu proses untuk memilih pasangan hidup. Kebanyakan diantaranya justru
mengedepankan rasa cinta dan kriteria duniawi, implikasinya yang kita lihat dan
rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang
disebabkan oleh perilaku lemahnya iman.
Ironisnya saat ini malah justru
semakin banyak kasus perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antar seorang pria
dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda. Tuntutan perkawinan
antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin
deras belakangan ini. Apalagi hal ini yang notabennya dilakukan oleh para
selebritas yang disaksikan oleh public karena pernikahan mereka biasanya di
ekspos oleh media. Hal tersebut dapat membentuk opini masyarakat bahwa
pernikahan beda agama itu adalah hal yang biasa, karena secara sosiologis
sebuah kesalahan sekalipun jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan akan
dianggap baik.
Ketika muncul kasus baru pernikahan
beda agama ini, banyak orang atau Sebagian orang masih memperdebatkan soal
pernikahan beda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut Islam
dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
Rasulullah SAW mengingatkan agar
seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal yang
bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya. Ibnu Majah
meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr: “Dari Abdullah bin
‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita
karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang malapetaka.
Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta bendanya akan
membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh
budak hitam yang beragama itu lebih baik. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
al-‘Azhim, hlm. 560)
Di Indonesia, perkawinan beda
agama tidak hanya merupakan larangan agma, tetapi juga telah dilarang oleh
undang-undang, namum demikian tidak sedikit umat Islam di Indonesia dengan
berbagai alasan telah melakukan pernikahan dengan orang yang tidak seagama
dengan mereka. Karena negara tidak memfasilitasi pernikahan yang tidak sesuai
dengan aturan perundang-undangan, maka ada diantara mereka yang pergi ke luar
negeri untuk melakukan pernikahan atau memanfaatkan lembaga tertentu yang
memang memfasilitasi pernikahan beda agama di Indonesia.
Sebenarnya, Allah SWT dalam
firmanNya yang tercantum di Al-Qur’an telah menjelaskan hukum pernikahan
seorang muslim dengan non muslim, atau singkatnya disebut sebagai pernikahan
beda agama. Semua ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan beda
agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan. Al-Qur’an dengan tegas
melarang pernikahan seorang muslim/Muslimah dengan orang musyrik/kafir, sesuai
dengan difirman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan
orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Q.S
Al-Baqarah: 221)
Selain Q.S Al-Baqarah
ayat 221 diatas, salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum pernikahan
beda agama adalah Q.S Al-Maidah ayat 5:
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan
(dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu
membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman,
maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang
rugi.” (Q.S Al-Maidah: 5)
Ayat diatas menyiratkan bahwa
Allah SWT menghalalkan atau mengizinkan seorang laki-laki muslim menikah dengan
perempuan non-muslim yang termasuk dalam golongan Kitabiyyah (ahli kitab) asli.
Perempuan Kitabiyyah adalah perempuan Yahudi dan Nasrani. Terhadap ayat
tersebut, al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, kebolehan laki-laki
muslim mengawini wanita Kitabiyyah tersebut apabila mereka beragama menurut
Taurat dan Injil sebelum di turunkannya Al-Qur’an, dan mereka tetap begarama
menurut kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Sementara menurut tiga
mazhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa kebolehan
laki-laki muslim mengawini wanita Kitabiyyah bersifat mutlak, meskipun agama
ahli kitab tersebut telah di nasakh.
Ahli kitab yang ada sekarang tidak
sama dengan ahli kitab yang ada pada waktu zaman Nabi Muhammad SAW, semua ahli
kitab zaman sekarang sudah jelas musyrik atau menyekutukan Allah, sehingga
pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah
sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. Sementara itu MUI mengeluarkan
fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan beda agama ini nomor 4/MUNAS
VII/8/2005 yang menetapkan: bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak
sah dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul
mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Selain itu jika dilihat secara
perundang-undangan, pertama, pernikahan beda agama bertentangan dengan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat 1 yang menerangkan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Kedua, pernikahan beda agama di Indonesia bertentangan
dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, pernikahan beda agama juga melawan
konstitusi yang telah dijelaskan pada UUD 1945 Pasal 28 B. Dalam Pasal 28 B (1)
dijelaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturnan
melalui perkawinan yang sah. (2) setiap orang berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Bahkan bab larangan perkawinan
yang termaktub dalam pasal 40 (c), Pasal 44, Bab X Pencegahan Perkawinan Pasal
61 KHI. Pasal 40 (c) berbunyi: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dan wanita dalam keadaan tertentu, seorang wanita yang tidak
beragama Islam”. Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi: “ Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam, dan Pasal 61 KHI: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alas an untuk
mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama.”
Apabila Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan
ketentuan Al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus
dipedomani bagi umat Islam Indonesia. Sehingga pernikahan beda agama tidak
diperbolehkan secara agama dan hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk
larangan dan wajib dicegah pelaksanaannya.
0 Comments
Posting Komentar