Penulis : Rizqa Febry Ayu, S.H., M.H


          Kembali jagat dunia maya digemparkan dengan pernikahan beda agama yang diajukan Pengadilan Negeri Surabaya dan telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, menikah beda masih menjadi suatu perdebatan dan hal yang dianggap kontroversial oleh masyarakat terutama di Indonesia.

              Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. Seiring dengan perkembangan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana dalam hal ini persoalan agama/iman seringkali diremehkan dalam suatu proses untuk memilih pasangan hidup. Kebanyakan diantaranya justru mengedepankan rasa cinta dan kriteria duniawi, implikasinya yang kita lihat dan rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku lemahnya iman.

              Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda. Tuntutan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini yang notabennya dilakukan oleh para selebritas yang disaksikan oleh public karena pernikahan mereka biasanya di ekspos oleh media. Hal tersebut dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan beda agama itu adalah hal yang biasa, karena secara sosiologis sebuah kesalahan sekalipun jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan akan dianggap baik.

              Ketika muncul kasus baru pernikahan beda agama ini, banyak orang atau Sebagian orang masih memperdebatkan soal pernikahan beda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut Islam dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

              Rasulullah SAW mengingatkan agar seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal yang bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya. Ibnu Majah meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr: “Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang malapetaka. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta bendanya akan membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh budak hitam yang beragama itu lebih baik. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, hlm. 560)

              Di Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agma, tetapi juga telah dilarang oleh undang-undang, namum demikian tidak sedikit umat Islam di Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan pernikahan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka. Karena negara tidak memfasilitasi pernikahan yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan, maka ada diantara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan pernikahan atau memanfaatkan lembaga tertentu yang memang memfasilitasi pernikahan beda agama di Indonesia.

              Sebenarnya, Allah SWT dalam firmanNya yang tercantum di Al-Qur’an telah menjelaskan hukum pernikahan seorang muslim dengan non muslim, atau singkatnya disebut sebagai pernikahan beda agama. Semua ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan beda agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan. Al-Qur’an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim/Muslimah dengan orang musyrik/kafir, sesuai dengan difirman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Q.S Al-Baqarah: 221)

              Selain Q.S Al-Baqarah ayat 221 diatas, salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah Q.S Al-Maidah ayat 5:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-Maidah: 5)

              Ayat diatas menyiratkan bahwa Allah SWT menghalalkan atau mengizinkan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim yang termasuk dalam golongan Kitabiyyah (ahli kitab) asli. Perempuan Kitabiyyah adalah perempuan Yahudi dan Nasrani. Terhadap ayat tersebut, al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita Kitabiyyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum di turunkannya Al-Qur’an, dan mereka tetap begarama menurut kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Sementara menurut tiga mazhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita Kitabiyyah bersifat mutlak, meskipun agama ahli kitab tersebut telah di nasakh.

              Ahli kitab yang ada sekarang tidak sama dengan ahli kitab yang ada pada waktu zaman Nabi Muhammad SAW, semua ahli kitab zaman sekarang sudah jelas musyrik atau menyekutukan Allah, sehingga pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. Sementara itu MUI mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan beda agama ini nomor 4/MUNAS VII/8/2005 yang menetapkan: bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

              Selain itu jika dilihat secara perundang-undangan, pertama, pernikahan beda agama bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat 1 yang menerangkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kedua, pernikahan beda agama di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, pernikahan beda agama juga melawan konstitusi yang telah dijelaskan pada UUD 1945 Pasal 28 B. Dalam Pasal 28 B (1) dijelaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturnan melalui perkawinan yang sah. (2) setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

              Bahkan bab larangan perkawinan yang termaktub dalam pasal 40 (c), Pasal 44, Bab X Pencegahan Perkawinan Pasal 61 KHI. Pasal 40 (c) berbunyi: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam keadaan tertentu, seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi: “ Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam, dan Pasal 61 KHI: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alas an untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama.”

              Apabila Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan Al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomani bagi umat Islam Indonesia. Sehingga pernikahan beda agama tidak diperbolehkan secara agama dan hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk larangan dan wajib dicegah pelaksanaannya.